Memperingati HUT-nya yang ke-10, The Habibie Center (THC) mengadakan rangkaian kegiatan bertema “Memantapkan Konsolidasi Demokrasi dan Mengakhiri Masa Transisi: Agenda Bangsa 2009-2014”, pada Selasa-Rabu (10-11/11), di Gran Melia Hotel, Kuningan, Jakarta.
Rangkaian peringatan HUT terdiri dari seri rangkaian diskusi politik, ekonomi, hukum, HAM, dan teknologi; pameran; lomba debat antar Universitas; pertunjukan seni; presentasi penerima beasiswa dan Habibe Award; dan malam peringatan HUT ke-10 dan penganugerahan Habibie Award.
Selama kurun waktu 10 tahun, sumbangsih THC terhadap penegakan demokrasi dan HAM diwujudkan melalui berbagai kegiatan yang bertumpu pada empat kerangka dasar. Yakni, mendorong demokratisasi dan HAM, meningkatkan kualitas kebebasan pers, mendorong pemanfaatan teknologi informasi untuk pengembangan demokrasi, dan mendorong pengembangan Iptek yang berkeunggulan.
Usaha memajukan demokrasi dan menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia tidak cukup hanya dilakukan pemerintah saja, tetapi juga perlu melibatkan seluruh anggota masyarakat. Dalam kaitan itu, B. J. Habibie berinisiatif mendirikan sebuah lembaga independent dan nirlaba yang menegakkan demokrasi dan mempromosikan hak asasi manusia. Didukung sejumlah pakar, akhirnya berdiri The Habibie Center (THC) pada 10 November 1999. THC merupakan lembaga kajian yang independent, non-pemerintah, dan non-profit.
Ia berkeyakinan demokrasi dan perlindungan terhadap HAM harus terus diperjuangkan, karena kedua hal ini tidak akan muncul dengan sendirinya. Selain itu masyarakat yang demokratis tidak bisa dicapai tanpa membangun masyarakat well informed dan mampu memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan taraf hidupnya. Oleh karena itu perjuangan demokrasi di Indonesia perlu didukung SDM yang mampu menyeimbangkan antara keimanan dan teknologi serta menyadari hak dan kewajibannya.
Dalam sambutannya Wakil Presiden, Boediono mengungkapkan, ia mengaku bangga dengan demokrasi di Indonesia, demokrasi di negeri ini adalah salah satu hal yang paling membuat saya bangga menjadi warga negara Republik Indonesia. Sebagai Negara terbesar di Asia Tenggara kuta juga mampu menegakkan demokrasi, itu sebabnya dirinya sangat sepakat dengan tema HUT THT ke-10 bertema “Memantapkan Konsolidasi Demokrasi dan Mengakhiri Masa Transisi: Agenda Bangsa 2009-2014”.
Demokrasi kita pada hakikatnya, memang masih muda, karena kurang lebih seumur THT (10 tahun). Ini adalah waktu yang sangat pendek untuk perjalanan sebuah sistem politik suatu negara. Suatu hal yang telah menjadi catatan sejarah adalah landasan pertama bagi perkembangan demokrasi sekarang ini diletakkan semasa pemerintahan Presiden BJ Habibie.
“Kita semua mempunyai kewajiban untuk membawa demokrasi maju dan menuntaskan masa transisinya. Banyak tugas yang harus kita selesaikan untuk memantapkan demokrasi kita, tapi pekerjaan terbesar bagi kita adalah aspek reformasi penegakan hukum ini merupakan kunci utama agar kualitas demokrasi kita lebih baik,” paparnya pada sambutannya di Gran Melia Hotel, Rabu (11/11).
Berikut beberapa kegiatan yang diliput reporter esqmagazine.com, Tino Setiyawan:
Selasa (10/11)
Agenda Strategis Pemerintahan Baru di Bidang Politik
Seminar ini dihadiri beberapa narasumber diantaranya Anas Urbaningrum (Partai Demokrat), J. Kristiadi (CSIS), A. Sulasikin Moerpratomo (THC), dan R. Siti Zuhro (THC/LIPI). Diskusi ini mengangkat beberapa agenda strategis yang perlu mendapat perhatian pemerintah baru antara lain memperkuat sistem presidensil didukung system kepartaian sederhana, menata kembali fungsi lembaga-lembaga negara, dan reformasi birokrasi.
Agenda tersebut perlu dijalankan secara simultan demi mewujudkan mimpi dan visi Indonesia masa depan yang lebih baik, adil, sejahtera, dan demokratis. Sepuluh tahun terakhir kita cukup berhasil dalam memajukan demokrasi.
Dalam diskusi Anas Urbaningrum (Partai Demokrat) memaparkan, “Memang sering dikritik bahwa demokrasi kita masih prosedural, kita belum mencapai demokrasi substansial. Tetapi mari kita garis bawahi bahwa tidak mungkin kita naik pada level demokrasi substansial kalau kita belum melewati demokrasi prosedural. Ini adalah tahapan yang harus kita lewati. Ini adalah modal awal kita untuk mencapai demokrasi substansial.”
Agenda dan Komitmen Pemberantasan Korupsi di Lembaga Eksekutif, Yudikatif, dan Legislatif
Seminar ini dihadiri beberapa narasumber diantaranya Muladi (THC), Bambang Widjojanto (Dewan Etik ICW), Gayus Lumbuun (DPR RI), Artidjo Alkostar (MA). Diskusi ini mengangkat pemberantasan korupsi di lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Pemberantasan korupsi yang merupakan komitmen pemerintah sejak awal era reormasi hingga kini masih belum optimal. Kenyataan bahwa Negara kita telah memiliki lembaga extraordinary seperti KPK dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) untuk memberantas korupsi belum bisa secara sepenuhnya memberantas korupsi.
Korupsi politik adalah kejahatan yang dilakukan oleh orang yang mempunyai kekuasaan politik. Keterlibatan beberapa anggota DPR, oknum kepolisian, dan kejaksaan dalam praktek korupsi mengindikasikan korupsi di Indonesia sudah masuk pada semua lini kekuasaan negara.
Gayus Lumbuun (DPR RI) menjelaskan mekanisme efektif dan agenda ke depan dalam rangka pemberantasan korupsi. Yakni melibatkan dan menyentuh seluruh potensi bangsa, membangun kode etik di sector publik, praktek pemberantasan korupsi yang dilakukan secara merata atau tidak diskrimnatif, dan pentingnya restrukturisasi kepegawaian negara.
Peran TI dalam Mempercepat dan Memperbaiki Kualitas Demokrasi
Kehadiran Teknologi Informasi telah memangkas kendala waktu dan tempat. Perubahan pola komunikasi dari face to face menjadi gadget to gadget turut membantu percepatan konsolidasi politik antar politisi yang akhirnya mampu mempercepat dan memperbaiki kualitas demokrasi. Diskusi ini diselenggarakan untuk mentabulasi permasalahan dalam penegembangan TI di Indonesia dalam kaitannya dengan demokrasi maupun bisnis TI itu sendiri.
Rabu (11/11)
Mempercepat Terwujudnya Ketahanan Energi dan Kemandirian Ekonomi
Seminar ini dihadiri Kurtubi (CPEES), Aviliani (INDEF), Saswinadi Sasmodjo (ITB), Evita H. Legowo (Dirjen Migas). Diskusi ini diselenggarakan untuk mengupas berbagai kebijakan energy yang telah dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia, mencari solusi/langkah strategis dalam menciptakan ketahanan energy di Indonesia, dan membebaskan perekonomian Indonesia dari pengaruh lonjakan harga minyak dunia.
Sebagai Negara yang relatif kaya akan sumber daya alam, seharusnya Indonesia bisa menata ekonominya dengan lebih baik di tengah krisis ekonomi dunia. Kurtubi (CPEES) mengatakan, untuk mempercepat pencapaian kemakmuran perlu didukung oleh perbaikan atau koreksi atas sistem pengelolaan Migas nasional saat ini. Hal ini bertujuan agar Sumber Daya Alam (SDA) Migas dapat memberikan pendapatan negara secara optimal, tercapai ketahanan dan kemandirian energi nasional yang tangguh, dan negara tetap berdaulat atas SDA-nya
Aviliani (INDEF) menjelaskan, peluang mencapai ketahanan energi di Indonesia cukup terbuka, salah satu alasannya adalah Indonesia dianugerahi keanekaragaman sumber daya energi seperti minyak bumi, gas, panas bumi, biofuel, dan sumber daya energi terbarukan lainnya.
ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR): Prospek dan Tantangan
Penghormatan terhadap HAM di kawasan Asia Tenggara diharapkan semakin menguat dengan keberadaan ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) yang direncanakan mulai bekerja Oktober tahun ini. Walaupun dinilai tertinggal dengan kawasan lain di dunia, lahirnya AICHR patut mendapatkan apresiasi dari berbagai kalangan. Diskusi ini diselenggarakan untuk membahas sejauhmana efektivitas AICHR dan langkah-langkah apa yang harus dipersiapkan untuk mengoptimalkan peran badan ini. (tino- www.esqmagazine.com)
0 comments:
Post a Comment