Monday, November 23, 2009

FOSMALANG 165:Titi, Roh Kehidupan Mentawai


Keanekaragaman budaya dari Sabang sampai Merauke merupakan aset Nusantara yang tak ternilai harganya, sehingga harus dilestarikan. Sayangnya, masih banyak anak bangsa yang tidak mengetahui ragam budaya daerah lain di Indonesia, salah satunya budaya tato di Mentawai, Sumatra Barat.

Bagi penghobi traveling, khususnya yang punya rasa ingin tahu cukup tinggi terhadap beragam budaya berbagai daerah di Indonesia, tidak ada salahnya mampir ke Mentawai untuk melihat dari dekat budaya tato yang sudah menjadi kebudayaan masyarakat setempat, selain menikmati sajian pesona alam dan lautnya.

Di Indonesia, jenis tato tertua adalah tato yang dimiliki oleh suku Mentawai, dan tato tersebut biasanya hanya berbentuk huruf. Di kalangan pelaku kriminal, tato adalah penanda. Mereka memanfaatkan tato untuk menunjukkan identitas kelompok. Tapi, ada juga tato yang memiliki sejarah sebagai alat ritual.

Menurut catatan sejarah, orang Mentawai sudah menato badan sejak kedatangan mereka ke pantai barat Sumatera. Bangsa Proto Melayu ini datang dari daratan Asia (Indocina), pada Zaman Logam, 1500 SM-500 SM. Di Mentawai, tato dikenal dengan istilah titi.

Dalam penelitian Ady Rosa, selain Mentawai dan Mesir, tato juga terdapat di Siberia (300 SM), Inggris (54 SM), Indian Haida di Amerika, suku-suku di Eskimo, Hawaii, dan Kepulauan Marquesas. Budaya rajah ini juga ditemukan pada suku Rapa Nui di Kepulauan Easter, suku Maori di Selandia Baru, suku Dayak di Kalimantan, dan suku Sumba di Sumatera Barat.

Bagi orang Mentawai, tato merupakan roh kehidupan. Tato memiliki empat kedudukan pada masyarakat ini, salah satunya adalah untuk menunjukkan jati diri dan perbedaan status sosial atau profesi. Tato dukun sikerei, misalnya, berbeda dengan tato ahli berburu. Ahli berburu dikenal lewat gambar binatang tangkapannya, seperti babi, rusa, kera, burung, atau buaya. Sikerei diketahui dari tato bintang sibalu-balu di badannya.

Tato juga memiliki fungsi sebagai simbol keseimbangan alam. Benda-benda seperti batu, hewan, dan tumbuhan harus diabadikan di atas tubuh. Fungsi tato yang lain adalah keindahan. Maka masyarakat Mentawai juga bebas menato tubuh sesuai dengan kreativitasnya.

Kedudukan tato diatur oleh kepercayaan suku Mentawai, Arat Sabulungan. Istilah ini berasal dari kata sa (se) atau sekumpulan, serta bulung atau daun. Sekumpulan daun itu dirangkai dalam lingkaran yang terbuat dari pucuk enau atau rumbia, yang diyakini memiliki tenaga gaib kere atau ketse.

Inilah yang kemudian dipakai sebagai media pemujaan Tai Kabagat Koat (Dewa Laut), Tai Ka-leleu (roh hutan dan gunung), dan Tai Ka Manua (roh awang-awang). Arat Sabulungan dipakai dalam setiap upacara kelahiran, perkawinan, pengobatan, pindah rumah, dan penatoan. Ketika anak lelaki memasuki akil balig, usia 11-12 tahun, orangtua memanggil sikerei dan rimata (kepala suku).

Mereka akan berunding menentukan hari dan bulan pelaksanaan penatoan. Setelah itu, dipilihlah sipatiti, seniman tato. Sipatiti ini bukanlah jabatan berdasarkan pengangkatan masyarakat, seperti dukun atau kepala suku, melainkan profesi laki-laki. Keahliannya harus dibayar dengan seekor babi. Sebelum penatoan akan dilakukan punen enegat, alias upacara inisiasi yang dipimpin sikerei, di puturukat (galeri milik sipatiti).

Setiap orang Mentawai, baik laki-laki maupun perempuan bisa memakai belasan tato di sekujur tubuhnya. Pembuatan tato sendiri melewati proses ritual, karena bagian dari kepercayaan Arat Sabulungan (kepercayaan kepada roh-roh). Bahan-bahan dan alat yang digunakan didapat dari alam sekitarnya. Hanya jarum yang digunakan untuk perajah yang merupakan besi dari luar. Sebelum ada jarum, alat pentatoan yang dipakai adalah sejenis kayu karai, tumbuhan asli Mentawai, yang bagian ujungnya diruncingkan.

Tubuh bocah yang akan ditato itu lalu mulai digambar dengan lidi. Sketsa di atas tubuh itu kemudian ditusuk dengan jarum bertangkai kayu yang dipukul pelan-pelan dengan kayu pemukul untuk memasukkan zat pewarna ke dalam lapisan kulit. Pewarna yang dipakai adalah campuran daun pisang dan arang tempurung kelapa.

Janji Gagak Borneo merupakan tahap penatoan awal, dilakukan di bagian pangkal lengan. Ketika usianya menginjak dewasa, tatonya dilanjutkan dengan pola durukat di dada, titi takep di tangan, titi rere pada paha dan kaki, titi puso di atas perut, kemudian titi teytey pada pinggang dan punggung.

Proses pembuatan tato memakan waktu dan diulang-ulang. Tentu saja menimbulkan rasa sakit dan bahkan menyebabkan demam.

Ditemukan juga bahwa tato pada masyarakat Mentawai berhubungan erat dengan budaya dongson di Vietnam. Diduga, dari sinilah orang Mentawai berasal. Dari negeri moyang itu, mereka berlayar ke Samudra Pasifik dan Selandia Baru. Akibatnya, motif serupa ditemui juga pada beberapa suku di Hawaii, Kepulauan Marquesas, suku Rapa Nui di Kepulauan Easter, serta suku Maori di Selandia Baru. (mtn/blg/sam)

0 comments:

Post a Comment