Thursday, November 19, 2009

FOSMALANG165:Nasab Nabi

Nasab Nabi

Ada tiga bagian tentang nasab Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam;

* Per­tama, bagian yang disepakati kebenarannya oleh para pakar biografi dan nasab, yaitu sampai Adnan.
* Kedua, bagian yang mereka perse­lisihkan, yaitu antara nasab yang tidak diketahui seeara pasti dan nasab yang harus dibiearakan, tepatnya Adnan ke atas hingga Ibra­him Alaihi wa Sallam.
* Ketiga, bagian yang sama sekali tidak kita ragukan bahwa di dalamnya ada hal-hal yang tidak benar, yaitu Ib­rahim ke atas hingga Adam.

Pada bagian awal telah kita singgung sedikit tentang hal ini. Ini­lah rineian dari tiga bagian tersebut;

Bagian pertama: Muhammad, bin Abdullah bin Abdul-Muth­thalib (yang namanya Syaibah), bin Hasyim (yang namanya Amr), bin Abdu Manaf (yang namanya Al-Mughirah), bin Qushay (yang namanya Zaid), bin Kilab, bin Murrah, bin Ka'b, bin Lu'ay, bin Gha­lib, bin Fihr (yang namanya Quraisy dan menjadi cikal bakal nama kabilah), bin Malik, bin An-Nadhr (yang namanya Qais), bin Kinanah, bin Khuzaimah, bin Mudrikah (yang namanya Amir), bin Ilyas, bin Mudhar, bin Nizar, bin Ma'ad, bin Adnan.

Bagian kedua: Adnan dan seterusnya, yaitu Adnan bin Add bin Humaisi', bin Salaman, bin Aush, bin Bauz, bin Qimwal, bin Ubay, bin Awwam, bin Nasyid, bin Haza, bin Baldas, bin Yadlaf, bin Tha­bikh, bin jahim, bin Nahisy, bin Makhy, bin Aidh, bin Abqar, bin Ubaid, bin Ad-Da'a, bin Harridan, bin Sinbar, bin Yatsriby, bin Yahzan, bin Yalhan, bin Ar'awy, bin Aidh, bin Daisyan, bin Aishar, bin Afnad, bin Aiham, bin Muqshir, bin Nahits, bin Zarih, bin Sumay, bin Muzay, bin Iwadhah, bin Aram, bin Qaidar, bin Isma'il, bin Ibrahim.

Bagian ketiga: Ibrahim dan seterusnya, yaitu bin Tarih (yang namanya Azar), bin Nahur, bin Saru' atau Sarugh, bin Ra'u, bin Falakh, bin Aibar, bin Syalakh, bin Arfakhsyad, bin Sam, bin Nuh Alaihi-Salam, bin Lamk, bin Mutwashyalakh, bin Akhnukh atau ldris Alaihis-Salam, bin Yard, bin Mahla'il bin Qainan, bin Yanisya, bin Syaits, bin Adam Alaihis-Salam.

Silsilah Keluarga Nabi

Keluarga Nabi Shallallahu Alazhi wa Sallam dikenal dengan sebutan keluarga Hasyimiyah, yang dinisbatkan kepada kakeknya, Hasyim bin Abdu Manaf Oleh karena itu ada baiknya jika menyebutkan sekilas tentang keadaan Hasyim dan keturunan sesudahnya.

1. Hasyim.

Sebagaimana yang sudah kita sebutkan di atas, Hasyim adalah orang yang memegang urusan air minum dan makanan dari Bani Abdu Manaf tepatnya ketika Bani Abdu Manaf mengikat perjanjian de­ngan Bani Abdi-Dar dalam masalah pembagian kedudukan di antara keduanya. Hasyim sendiri adalah orang yang kaya raya dan ter­hormat. Dialah orang pertama yang memberikan remukan roti ber­campur kuah kepada orang-orang yang menunaikan haji di Makkah. Nama aslinya adalah Amru. Dia diPanggil Hasyim karena suka me­remukkan roti. Dia juga orang pertama yang membuka jalur per­dagangan dua kali dalam setahun bagi orang-orang Quraisy, yaitu sekali pada musim dingin dan sekali pada musim kemarau.

Di antara kisah kehidupannya, dia pernah pergi ke Syiria untuk berdagang. Setiba di Madinah, dia menikahi Salma binti Amru, dari Bani Ady bin An-Najjar dan menetap di sana bersama istrinya itu. Lalu dia melanjutkan perjalanannya ke Syiria, sementara istrinya tetap bersama keluarganya, yang saat itu sedang mengandung anak­nya, Abdul-Muththalib. Namun Hasyim meninggal dunia setelah menginjakkan kaki di Palestina. Sementara Sahna melahirkan Abdul Muththalib pada tahun 497 M, dengan nama Syaibah, karena ada rambut putih (uban) di kepalanya.Adapun pengasuhan selanjutnya diserahkan kepada bapak Salma di Yatsrib. Tak seorang pun dari keluarga Hasyim di Makkah yang merasakan kehadiran Abdul-Muth­thalib. Hasyim mempunyai empat putra: Asad, Abu Shady, Nadhlah dan Abdul-Muththalib-dan lima putri: Asy-Syifa', Khalidah, Dha'ifah, Ruqayyah dan jannah.

2. Abdul Mutlzalib

Seperti yang sudah disebutkan di bagian awal, tentang penanganan air minum dan makanan sepeninggal Hasyim ada di tangan sau­daranya, Al-Muththalib bin Abdi Manaf, seorang laki-laki yang ter­pandang, dipatuhi dan tehormat di tengah kaumnya, dia seorang yang dermawan. Ketika Al-Muththalib mendengar bahwa Syaibah (Abdul-Muththalib) sudah tumbuh menjadi seorang pemuda atau lebih tua lagi, maka dia mencarinya. Setelah keduanya saling berha­dapan, kedua mata Al-Muththalib meneteskan air mata karena ter­haru, lalu dia pun memeluknya dan dia bermaksud membawanya. Namun Abdul-Muththalib menolak ajakan itu kecuali jika ibunya mengizinkan. Maka Al-Muththalib memohon kepada ibu Abdul­Muththalib. Namun permohonan itu juga ditolak. "Sesungguhnya dia akan pergi ke tengah kerajaan bapaknya dan tanah suci Allah," kata Al-Muththalib mengajak.

Akhimya ibunya mengizinkan. Maka Abdul-Muththalib dibawa ke Mekah dengan dibonceng di atas untanya. Sesampainya di Mak­kah, orang-orang berkata, "/nilah dia. Abdul-Muththalib." Al-Muth­thalib berkata, "Celakalah kalian. Dia adalah anak saudaraku, Ha­syim ".

Abdul-Muththalib tinggal di rumah Al-Muththalib hingga men­jadi besar.

Ketika Al-Muththalib meninggal dunia di Yaman. Maka Abdul Muththalib menggantikan kedudukannya. Dia hidup di tengah ka'ltmnya dan memimpin mereka seperti yang dilakukan bapak-ba­paknya terdahulu. Dia dicintai kaumnya dan diagungkan. Namun Naufal (adik bapak Abdul-Muththalib atau pamannya sendiri) me­rebut sebagian wilayah kekuasaannya, yang kemudian membuat Abdul Muththalib marah. Maka dia meminta dukungan kepada beberapa pemimpin Quraisy untuk menghadapi pamannya. Namun me­reka berkata, "Kami tidak ingin mencampuri urusan antara dirimu dan pamanmu".

Maka dia menulis surat yang ditujukan kepada paman-paman dari pihak ibunya, Bani An-Najjar, berisi beberapa bait syair yang intinya meminta pertalangan kepada mereka. Salah searang pa­mannya, Abu Sa'd bin Ady membawa delapan puluh pasukan ber­kuda, lalu singgah di daerah pinggiran Makkah. Abdul-Muththalib menemui pamannya di sana dan berkata, "Mari singgah ke rumahku wahai paman!"

"Tidak, demi Allah, kecuali setelah aku bertemu dengan Naufal," kata pamannya. Lalu Abu Sa'd mencari Naufal, yang pada saat itu sedang duduk di Hijir bersama beberapa pemuka Quraisy. Abu Sa'd langsung menghunus pedang dan berkata, "Demi penguasa Ka'bah, jika engkau tidak mengembalikan wilayah kekuasaan anak saudariku, maka aku akan menebaskan pedang ini ke batang lehennu".

”Aku sudah mengembalikannya," kata Naufal. Pengembalian ini disaksikan aleh para pemuka Quraisy, baru setelah itu Abu Sa'd mau singgah di rumah Abdul-Muththalib dan menetap di sana selama tiga hari. Setelah itu dia melaksanakan umrah lalu pulang ke Ma­dinah. Melihat perkembangan ini, Naufal mengadakan perjanjian persahabatan dengan Bani Abdi Syams bin Abdi Manaf untuk meng­hadapi Bani Hasyim. Bani Khuza'ah yang melihat dukungan Bani An-Najjar terhadap Abdul-Muththalib, maka mereka berkata, "Kami juga melahirkannya sebagaimana kalian telah melahirkannya. Dleh karena itu kami juga lebih berhak mendukungnya".

Hal ini bisa dimaklumi, karena ibu Abdi Manaf berasal dari ke­turunan mereka. Maka mereka memasuki Darun-Nadwah dan meng­ikat perjanjian persahabatan. dengan Bani Hasyim untuk meng­hadaPi Bani Abdi Syams yang sudah bersekutu dengan Naufal. Per­janjian persahabatan inilah yang kemudian menjadi sebab penak­lukan Makkah sebagaimana yang akan kita bahas di bagian men­datang. Di antara peristiwa penting yang terjadi di Baitul-Haram semasa Abdul-Muththalib adalah penggalian sumur Zamzam dan peristiwa pasukan gajah.

Kisahnya berawal saat dia bermimpi disuruh menggali lagi sumur Zamzam dan mencari tempatnya. Maka dia pun melaksanakan perintah dalam mimpi itu. Temyata di dalamnya dia mendapatkan berbagai benda beharga yang dulu pemah diPendam orang-orang .Iurhnm tatkala sedang berkuasa. Benda-benda itu berupa beberafJa buah pedang, baju perang dan dua pangkal pelana, yang semuanya terbuat dari emas. Lalu kemudian dia menjadikan pedang-pedang itu sebagai pintu Ka'bah dan memasang dua bush pangkal pelana di pintu itu. Abdul-Muththalib tetap menangani urusan air minum dari Zamzam bagi orang-orang yang menunaikan haji.

Ketika sumur Zamzam itu ditemukan kembali oleh Abdul-Muth­thalib, orang-orang Quraisy ingin ikut menanganinya. Mereka ber­kata, "Kami ingin bergabung untuk bekerjasama".

"Tidak bisa. Ini adalah urusan yang secara khusus ada di ta­nganku," kata Abdul-Muththalib. Dia tidak mau menyerahkan begitu saja masalah ini kepada mereka kecuali setelah menyerahkan ke­putusan kepada seorang dukun wan ita dari Bani Sa'd. Mereka tidak akan pulang kecuali setelah Allah menunjukkan jalan bahwa Abdul­Muththaliblah yang memang berhak menangani Zamzam. Pada saat itu pula Abdul-Muththalib bemadzar, jika Allah memberinya sefmluh anak laki-laki, dan setelah mereka besar dia tidak lagi mempunyai anak, maka dia akan menyembelih salah seorang di antara mereka di hadapan Ka'bah.

Kisah yang kedua, bahwa Abrahah Ash-Shabbah Al-Habsy, gu­bernur yang berkuasa di Yaman dari Najasy,membangun sebuah gereja yang sangat besar di Shan'a', karena dia melihat bangsa Arab yang melaksanakan haji di Ka'bah. Dengan adanya gereja yang sangat besar itu dia menginginkan untuk mengalihkan kegiatan haji ke sana. Seseorang dari bani Kinanah mendengar niat Abrahah ini. Maka saat tengah malam dan dengan cara mengendap-endap, dia masuk ke dalam gereja dan melumurkan kotoran ke pusat kiblatnya. Tentu saja Abrahah amat geram! setelah mengetahui hal ini.

Dengan membawa pasukan yang jumlahnya mencapai enam puluh ribu prajurit, dia menuju Ka 'bah untuk menghancurkannya. Untuk kendaraannya, dia memilih seekor gajah yang paling besar, selain sembilan atau tiga belas ekor gajah yang lain di tengah pa­sukannya. Sesampainya di dekat Makkah, Abrahah mempersiapkan pasukannya dan gajahnya, siap untuk menginvasl Mekah.

Setibanya di Wadi Mahsar, yaitu antara Muzdalifah dan Mina, tiba-tiba gajahnya mengaum dan tak mau bangkit lagi mendekati Ka'bah. Setiap kali mereka mengalihkannya ke arah selatan, utara, timur atau barat yang berlawanan dengan arah Ka'bah, gajah itu mau berdiri dan hendak lari. Namun jika dialihkan ke arah Ka'bah lagi, maka dia pun mengaum. Tatkala keadaan mereka seperti itulah Allah mengirimkan burung-burung Ababil di atas mereka, lalu men­jatuhkan batu-batu dari tanah yang panas, sehingga mereka tak ubah­nya daun-daun yang dimakan ulat. Burung-burung itu menyerupai Khathathif dan Balsan. Setiap burung membawa tiga biji batu yang dipatuknya, dan dua batu di kedua kakinya, yang besamya seperti biji kacang. Batu-batu itu tidak menimpa salah seorang di antara mereka, melainkan sendi-sendi tulangnya terlepas dan tak lama ke­mudian dia pun mati. Tidak semuanya terkena batu-batu itu.

Akhimya mereka serabutan melarikan diri, sebagian menabrak sebagian yang lain hingga banyak yang jatuh terinjak-injak dan me­reka mati berserakan. Tentang Abrahah sendiri, Allah mengirim pe­nyakit kepadanya, sehiggga sendi-sendi tulangnya terlepas sendiri­ sendiri. Setibanya di Shan'a' dia tak ubahnya anak burung, dadanya tabelah hingga menampakhan jantungnya, lalu dia pun mati.

Saat itu orang-orang Quraisy berpencar-pencar menjadi beberapa kelompok dan mengungsi ke atas gunung, karena takut terhadap invasi pasukan Abrahah. Setelah pasukan Abrahah mengalami keja­dian seperti itu, mereka pun kembali lagi ke rumah dalam keadaan selamat dan aman.

Peristiwa ini terjadi pada bulan Muharram, lima puluh atau lima puluh lima hari sebelum kelahiran Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, atau tepatnya pada akhir bulan Februari atau awal bulan Maret 571 M. Peristiwa ini merupakan bagian prolog yang dibukakan Allah un­tuk Nabi dan Bait-Nya. Sebab selagi pandangan kita terarah ke Baitul­ Maqdis, maka kita akan melihat musuh-musuh Allah yang musyrik menguasai kiblat ini, sekalipun rakyatnya orang-orang Muslim, se­perti peristiwa Bukhtanashar pada tahun 587 SM, dan orang-orang Romawi pada tahun 70 M. Tetapi Ka'bah tidak pemah dikuasai oleh orang-orang Nasrani (yang saat itu, mereka disebut orang-orang Mus­lim), sekalipun penduduknya orang-orang Musyrik.

Kabar tentang peristiwa ini dengan cepat menyebar ke wilayah-wilayah yang sudah maju pada zaman itu. Hahasyah (Ethiopia) saat itu mempunyai hubungan yang kuat dengan bangsa Romawi. Se­mentara bangsa Persia juga masih memiliki akar yang kual. Mereka selalu mencari tahu apa pun yang dilakukan bangsa Romawi dan sekutu-sekutunya. Oleh karena itu orang-orang Persia segera pergi ke Yaman setelah peristiwa itu. Dua pemerintahan ini (Persia dan Romawi) merupakan dua kekuatan yang mafu dan beradab di dunia saat itu. Maka peristiwa ini langsung mengalihkan perhatian dunia dan sekaligus menunjukkan kemuliaan Baitullah, yang telah dijJilih Allah untuk sebuah pensucian. Jadi, jika ada di antara penduduknya yang bangkit menyatakan nubuwan, maka itu merupakan inti yang dituntut dari peristiwa ini, dan sekaligus merupakan penafsiran dari hikmah yang tersembunyi, mengapa ada pertolongan dari Allah, orang-orang Musyrik yang berhadapan dengan orang-orang yang memiliki iman, yang semuanya berjalan tanpa bisa dijangkau alam akal.

Abdul-Muththalib mempunyai sepuluh anak laki-laki: Al-Harits, Az-Zubair, Abu Thalib, Abdullah, Hamzah, Abu Lahab Al-Ghaidaq, Al-Maqwam, Shaffar dan AI-Abbas. Sedangkan anak putrinya ada enam: Ummul-Hakim atau Al-Baidha', Barrah, Atikah, Shafiyyah, Arwa dan Umaimah.

3. Abdullah

Dia adalah ayahanda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Salam. lbunya adalah Fathimah binti Amr bin A'idz bin Imran bin Makhzum bin Yaqzhah bin Murrah. Abdullah adalah anak Abdul-Muththalib yang paling baik dan paling dicintainya. Kemudian Abdullah inilah yang mendapatundian untuk disembelih dan dikorbankan sesuai dengan nadzar Abdul-Muththalib. Singkatnya, ketika anak-anaknya sudah berjumlah sepuluh orang dan tahu bahwa dia tidak lagi mempunyai anak, maka dia m£!Jnberitahukan nadzar yang pemah diucaPkannya kepada anak-anaknya. Temyata mereka patuh. Kemudian dia menu­liskan nama-nama mereka di anak panah untuk diundi, lalu dise­Tahkan kepada patung Hubal.

Setelah anak-anak panah itu dikocok, keluarlah nama Abdullah.

Maka Abdul-Muththalib menuntun Abdullah sambil membawa pa­rang, berjalan menuju Ka'bah untuk menyembelih anaknya itu. Na­mun orang-orang Quraisy mencegahnya, terutama paman-pamannya dari pihak ibu dari Bani Makhzum dan saudaranya Abu Thalib. Jika demikian lalu apa yang harus kulakukan sehubungan nadzarku ini?" tanya Abdul-Muththalib kebingungan. Mereka mengusulkan untuk menemui seorang d1{kun perempuan. Maka dia pun menemui dukun itu. Sesampainya di tempat dukun itu, dia diPerintahkan untuk lIlengundi Abdullah dengan sepuluh ekor unta. Jika yang keluar nama Abdullah, maka dia harus menambahi lagi dengan se­puluh ekor unta, hingga Tuhan ridha. Jika yang keluar nama unta, maka unta-unta itnlah yang disembelih. Maka dia keluar dari tempat dukun wanita itu dan mengundi antara nama Abdullah dan sepuluh ekor unta.

Temyata yang keluar adalah nama Abdullah. Maka dia menam­bahi lagi dengan sepuluh ekor unta. Setiap kali diadakan undian berikutnya, yang keluar adalah nama Abdullah, hingga jumlahnya mencapai seratus ekor unta. Baru setelah itu undian yang keluar adalah nama unta. Maka unta-unta itu pun disembelih, sebagai pengganti dari Abdullah. Daging-daging unta tersebut dibiarkan be­gitu saja, tidak boleh disentuh oleh manusia maupun binatang.

Tebusan pembunuhan yang memang berlaku di kalangan Qu­raisy dan Bangsa Arab adalah sepuluh ekor unta. Namun setelah kejadian ini, jumlahnya berubah menjadi seratus ekor unta, yang juga diakui Islam. Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, bahwa beliau bersabda,

”Aku adalah anak dua orang yang disembelih.” Maksudnya adalah Isma'il Alaihis-Salam dan Abdullah.

Abdul-Muththalib menikahkan anaknya, Abdullah dengan Ami­nah binti Wahb bin Abdi Manaf bin Zuhrah bin Kilab, yang pada saat itu Aminah dianggap wanita yang paling terpandang di kalangan Quraisy dari segi keturunan maupun kedudukannya. Bapaknya ada­lah pemuka Bani Zuhrah. Abdullah hidup bersamanya di Makkah. Tak lama kemudian Abdul Muththalib mengutusnya pergi ke Ma­dinah untuk mengurus kurma. Namun dia meninggal di sana. Ada yang berpendapat, Abdullah pergi ke Syam untuk berdagang, lalu bergabung dengan kafilah Quraisy. Lalu dia singgah di Madinah dalam keadaan sakit, lalu meninggal di sana dan dikuburkan di Darun- Nabighah Al-Ja'dy. Saat itu umumya dua puluh lima tahun. Abdullah meninggal dunia sebelum Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dilahirkan. Begitulah pendapat mayoritas ahli sejarah. Ada pula yang berpendapat, Abdullah meninggal dunia dua bulan sete­lah Rasulullah lahir. Setelah kabar kematiannya tiba di Makkah, Ami­nah mengenakan pakaian-pakaian serba usang, dia mengingat kisah sedih ini dalam hatinya.

Warisan yang ditinggalkan Abdullah berupa lima ekor unta, se­kumpulan domba, pembantu wanita Habsy yang bemama Barakah, dan berjuluk Ummu Aiman. Dialah wanita yang mengasuh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.

0 comments:

Post a Comment